KELUARGA & KARIR

AGAR BERTAHAN DI PUNCAK KARIER
PEREMPUAN MESTI MAWAS DIRI


eluang mengaktualisasi diri dalam berkarier sangat terbuka lebar sekarang ini. Hingga mencapai puncak posisi pun bukan suatu hal yang mustahil dilakukan. Pendek kata, terbuka lebar peluang bagi perempuan dalam meraih posisi puncak dan strategis.
Ini juga sekaligus membuktikan bahwa perempuan mampu dan punya potensi besar, meski untuk itu ia harus bersaing dengan rivalnya di kantor yang notabene juga ada kaum pria. Jadi, kalau bicara gender sebagai faktor kendala, saat ini tidak terlalu berpengaruh. Berbeda dengan kondisi ke puluhan tahun silam, hal ini jadi bahasa banyak orang karena dianggap sebagai kendala.
Apa pun keadaaannya, namanya sebuah perjuangan, dalam hal ini seseorang merintis dari bawah lalu mencapai puncak karier yang didiamkannya, pasti sebuah prestasi yang membahagiakan. Bagaimana tidak? Meraih posisi karier teratas berarti terbuka peluang baginya untuk meraih kemanjaan diri, nama besar, uang berlimpah, segala bentuk kemapaman, dan juga segala jenis kemanjaan hidup, Artinya, tolak ukur kesuksesan umumnya lebih ke tataran yang bersifat materi maupun kekuasaan.
Namun mesti waspadai, karena di balik pencapaian itu, jurang keruntuhan bisa kerap mengintai. Bila tak berhati-hati dalam melangkah atau katakan salah jalan, akhirnya bisa tergelincir dan jatuh. Kita lihat sejumlah contoh di sekitar kita. Banyak perempuan telah menduduki posisi atas, tetapi karena satu dan lain hal, ia tak bisa mempertahankan puncak karier tersebut.
Menurut pakar psikologi, banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Friska, senior manager sebuah perusahaan asing di bidang jasa konstruksi, misalnya. Ibu beranak empat ini memang dengan susah payah merintis karier. Diawali ketika ia masih berstatus lajang dan baru lulus kuliah. Ia start dari posisi sebagai penerima telepon (front officer), lalu karena keuletannya dan mau belajar, ia dipercaya menjadi sekretaris junior. Sepuluh tahun kemudian mendapat promosi lagi sebagai manajer operasional dan menjadi manajer senior 5 tahun kemudian.
“Tidak main-main lo, saya merintis karier ini selama 20 tahun. Sayangnya, aku tidak balance dan lupa diri. Yang kupikirkan setiap hari hanya karier, karier dan karier. Padahal suami dan anak-anak membutuhkan perhatianku. Suami protes berat, karena nyaris ia tidak pernah melihat wajahku relaks atau gembira. Selalu kusut dan stress. Belum lagi tahu-tahu anak-anak sudah dewasa. Karena jarang berdialog, mereka jadi canggung bicara denganku. Itu semua akses dari sikapku yang menomorsekiankan keluarga demi karier”, kata friska.
Apa yang kemudian terjadi? Perceraian tak terhindarkan. Ternyata setelah berpisah, Friska justru tambah tertekan, stress dan performa kerjanya menurun.
Pimpinannya segera menarik jabatannya untuk digantikan oleh orang lain.

Sementara Friska dimutasi ke kantor cabang dan hanya menjabat sebagai pengawas lapangan saja. “Aku benar-benar rugi sendiri,” lanjutnya, penuh sesal.

KELUARGA MENENTUKAN
Itu pengalaman Friska. Beda dengan yang dialami Inge, sebut saja demikian sarjana lulusan Institut Teknologi Bandung itu. Ia meraih puncak karier berkat dukungan keluarga, suami dan anak-anaknya. Awalnya ia client representative sebuah perusahaan Amerika dan tercatat sebagai satu-satunya perempuan di antara ratusan client representatives.
Hasil kerjanya instimewa, sehingga ia berhak menduduki posisi di volume business executive untuk kawasan Asia Pasifik. Ia beruntung mendapat dukungan keluarga secara penuh. Bahkan suami dan anak-anaknya bersedia pindah ke Singapura, mendampingi. “Tanpa dukungan keluarga, saya tak mungkin bisa mencapai posisi sekarang ini, sampai semua anak ikut boyongan ke Singapura.”
Dalam sebuah penelitian menyambut International Women’s Day pada 8 Maret lalu, disebutkan, keluarga tetap menentukan kesuksesan dan kebahagiaan perempuan dalam menjalani karier dan rumah tangga. Bahkan ditemukan data, perempuan berkarier yang masih single atau tidak punya anak cenderung lebih dilanda depresi, lalu rasa percaya dirinya rendah, dan merasa kurang puas. Demikian Ethel Roskies, psikolog dari University of Montreal. Ini baru satu pendapat, bagaimana kata pakar dalam negeri tentang hal ini?
Psikolog Mira D Amir mengungkapkan faktor utama kejatuhan perempuan mapan adalah lingkungan. Lingkungan pertama, yaitu orang-orang di tempat kerja. “Sering kali mereka yang berada di puncak karier justru jatuh karena lingkungannya sendiri. Pasalnya, di negeri kita paham ketimuran masih berlaku, seperti pandangan asisten atau bawahan yang tidak kooperatif, lingkungan kerja yang tak suka dipimpin perempuan”.
Berbeda bila pria yang berada di puncak karier. Jadi, perempuan sebagai pimpinan menghadapi guncangan jauh lebih besar ketimbang pria.
Lingkungan kedua adalah keluarga seperti dihadapi Friska, Baru pulang kerja, masih capek, di otak pun masih membayang segudang urusan kantor, tiba-tiba suami dan anak menuntut ini-itu. Pastinya, emosi jadi tak terkendali dan sangat menyebabkan stress.
Lingkungan ketiga adalah relasi bisnis yang menjadi pembisik. Biasanya bila perempuan berada di puncak karier, dia akan menjadi pribadi yang mandiri. Namun karena ia perempuan tetap membutuhkan pendamping sepadan, sayangnya itu tak didapatkannya. Hal ini kerap membuat perempuan merasa berjalan sendirian.
“Bekerja dan menggapai puncak karier tujuan utamanya adalah beroleh hidup yang mapan. Tatkala menikah, perempuan ingin suaminya lebih dari dia atau paling tidak setara
kemapanannya. Ketika bertahun-tahun berumah tangga dan sang suami statis bak jalan ditempat, ia pun merasa bekerja sendirian, lalu terbebani, sehingga bisikan dari
lingkungan luar membawanya ke perselingkuhan,” paling tidak, dari orang ketiga itu ia mendapat perlindungan dan bisa memfasilitasi dirinya sebagai seorang istri.
Yang terbaik, perempuan yang sedang berada di puncak karier sebaiknya sejak awal tahu seberapa besar tantangan di tempat kerja. Lalu, ambil asisten yang benar-benar mampu, loyal, dan jujur. Bersikaplah sebagai pemimpin yang bijaksana, memberi contoh yang baik dan memberi motivasi kepada mereka untuk maju. Kemudian menghormati komitmen pada suami apa yang diinginkan ketika menduduki posisi puncak. Dengan demikian, keluarga bisa mendukung sepenuhnya dan tidak menjadi beban.
Sementara itu Irma Gustiana A, MPsi,Psi berpendapat alasan perempuan bekerja adalah pertama, untuk memenuhi kebutuhan mengaktualisasi diri. Perempuan yang berpendidikan memadai umumnya mengerahkan kemampuannya untuk kerja dan karier, juga ingin diakui dan dihargai. Kedua, kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga sebagai second income. Ketiga, perempuan sebagai single parent, terdesak untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan pribadi maupun anak-anaknya.

PERKEMBANGAN ANAK
Umumnya masalah yang paling utama dihadapi perempuan di puncak kemapanan, kata Irma, adalah perkembangan anak. Dalam hal ini kuantitas dan kualitas waktu sang ibu sangat kurang. Apalagi jika anak-anak sedang dalam tahap perkembangan yang sangat membutuhkan pendampingan.
Anak jadi merasa terabaikan, cemas, tidak diperhatikan, lalu muncul perilaku bermasalah pada diri anak. Misalnya, anak jadi agresif, kurang konsentrasi dalam belajar, motivasi bersekolah turun, atau mulai mengompol kembali, bahkan ada yang terlibat dalam kenakalan remaja dan perilaku seksual menyimpang.
Selain itu masalah keharmonisan rumah tangga juga kerap jadi problema. Hubungan suami-istri jadi runyam, karena salah satu bersikap bossy karena terbawa peran dominannya di kantor. Jika si istri yang bersikap demikian, suami cenderung merasa sangat tidak nyaman dan bisa memicu pertengkaran. Efek lainnya sering ribut dan akhirnya merembet ke hubungan intim yang makin tidak berkualitas.
Yang terakhir adalah masalah dengan diri sendiri. Perempuan pekerja atau berkarier lebih rentan mengalami stress. Bagaimana tidak ? Di kantor ia dituntut terampil mengatur waktu antara pekerjaan dan keluarga, lalu pada saat bersamaan ia mesti menyelesaikan masalah anak dan suami, sehingga secara psikologis ia tidak nyaman. Ia pun mudah kehilangan kontrol diri, tidak sabaran, cenderung menekan anak atau melampiaskan rasa tertekannya kepada anak.

EKSES SOSIOLOGIS
Dari sisi sosiologi, kejatuhan perempuan dari puncak karier, biasanya karena selagi ia menjabat, perilakunya kurang kooperatif dengan lingkungan atau cenderung bersikap arogan.
Ini ciri-ciri mereka yang ambisius dalam mencapai visinya, cenderung bersikap agresif dan menafikan hak orang lain dengan menghalalkan segala cara. Pendek kata, kurang peka terhadap lingkungan.
Sosiologi Erlangga Masdiana mengungkapkan, banyak perempuan belum siap mental menghadapi posisi puncak yang penuh resiko. Sebut saja, ada pihak yang ingin mengincar jabatannya, lalu berusaha menjatuhkannya.
“Jadi, Kondisi psikologisnya harus dipersiapkan sejak awal, agar kelak pada waktunya kesuksesan singgah dalam genggaman, secara fisik dan mental Anda akan siap menghadapi goncangan, seperti gosip atau intrik yang datang dari lingkungan pertama.
Rongrongan atau cobaan bisa datang dari lingkungan pertama, yaitu orang-orang di lingkungan kerja. Banyak karyawan yang mengincar posisi top leader di perusahaan. Ada yang berjuang merintis ikhtiar dengan kerja sebaik-baiknya demi mewujudkan obsesinya itu, tapi ada juga yang ingin meraihnya dengan jalan pintas.
Keadaan bertambah runyam lagi kalau sebagai pimpinan tidak siap menghadapi bawahan yang amatir dan lemah. Mereka orang-orang di lingkungan kerja yang tidak punya kepabilitas, tapi ingin melesat dengan instant. Jadi, persiapkanlah pribadi yang matang dan kooperatif, peka terhadap lingkungan, tetap low profile dan mendekatkan diri kepada sang khalik. Dengan demikian, perempuan bisa memegang teguh perannya sebagai istri, ibu dan juga pemimpin yang amanah.
Intinya, tidak lupa, memperkuat jati diri, bersikap tegas dan memahami lingkungan dengan bijak.

 Majalah Kartini

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROFIL

TURNAMEN GOLF AMAL PIISEI PUSAT

BERITA ORGANISASI